
ChatGPT dengan cepat mulai menyusup ke ruang kelas K-12 secara nasional. A survei terbaru oleh study.com menemukan bahwa hampir 90 persen siswa mengaku menggunakan chatbot OpenAI dalam beberapa kapasitas terkait rumah, dan lebih dari 25 persen guru telah memergoki seorang siswa menyontek menggunakan chatbot.
Kecenderungan siswa untuk menggunakan ChatGPT untuk berbuat curang telah menimbulkan kekhawatiran di antara para pendidik dan bahkan mendorong beberapa distrik sekolah, mulai dari Sekolah Umum Kota New York hingga Distrik Sekolah Bersatu Los Angeles, untuk mengeluarkan larangan chatbot. Namun, menyontek dengan ChatGPT hanyalah gejala dari masalah yang lebih besar dalam pendidikan: fokus pada hafalan dan regurgitasi informasi.
Kekhawatiran terkait menyontek dibenarkan, tetapi banyak yang tampaknya mengabaikan poin kunci: siswa yang memilih untuk menyontek pada pekerjaan rumah, esai, atau ujian bukanlah fenomena baru. Perusahaan seperti Chegg telah menjadi platform multi-miliar dolaryang terutama disebabkan oleh siswa yang mencari akses sesuai permintaan ke buku teks dan jawaban ujian. Sebelum ChatGPT tersedia untuk umum, Pusat Internasional untuk Integritas Akademik menemukannya 95 persen anak SMA berpartisipasi dalam beberapa bentuk kecurangan.
Ini menimbulkan pertanyaan ganda: mengapa siswa menyontek sejak awal, dan mengapa begitu mudah menyontek? Untuk keduanya, jawaban sederhana menelusuri kembali ke pendekatan kurikulum dan penilaian saat ini.